Selasa, 08 Mei 2012

Filsafat Plato


PENDAHULUAN

Orang Yunani yang hidup pada abad ke-6 SM mempunyai sistem kepercayaan, bahwa segala sesuatunya harus diterima sebagai suatu kebenaran yang bersumber pada mitos atau dongeng-dongeng. Artinya, suatu kebenaran lewat akal pikir (logos) tidak berlaku, yang berlaku hanya suatu kebenaran yang bersumber pada mitos (dongeng-dongeng).
Setelah pada abad ke-6 SM muncul, sejumlah ahli pikir yang menentang adanya mitos. Mereka menginginkan pertanyaan tentang misteri alam semesta ini jawabannya dapat diterima akal (rasional). Keadaan yang demikian ini sebagai suatu demitologi, artinya suatu kebangkitan pemikiran untuk menggunakan akal-pikir dan meninggalkan hal-hal yang sifatnya mitologi.
Upaya para ahli pikir untuk mengarahkan pada suatu kebebasan berpikir ini menyebabkan banyak orang yang mencoba membuat suatu konsep yang dilandasi kekuatan akal pikir secara murni. Maka, timbullah peristiwa ajaib The Greek Miracle, yang nantinya dapat dijadikan sebagai landasan peradaban dunia.
Pengertian filsafat pada saat itu masih berwujud ilmu pengetahuan yang masih global, sehingga nantinya satu demi satu berkembang dan memisahkan diri menjadi pengetahuan yang berdiri sendiri. Zaman Yunani sendiri terbagi menjadi dua periode, yaitu periode Yunani Kuno dan periode Yunani Klasik. Periode Yunani Kuno diisi oleh ahli pikir alam (Thales, Anaximandros, Pythagoras, Xenophanes, dan Democritos. Sedangkan pada periode Yunani Klasik diisi oleh ahli pikir seperti Socrates, Plato, Aristoteles.
Dan pada makalah kali ini, kita semua akan membahas tentang seorang ahli pikir yang sangat terkenal di kalangan ahli filsafat dan juga termasuk dalam kategori ahli pikir pada Periode Yunani Klasik yaitu Plato.








PEMBAHASAN

A.      Biografi Plato
Tempat dan tahun kelahiran Plato yang sesungguhnya tidak diketahui dengan pasti. Ada yang mengatakan Plato lahir di Athena, ada juga yang mengatakan ia lahir di pulau Aegina. Demikian juga dengan tahun kelahirannya, ada yang mengatakan ia lahir tahun 428 SM, ada juga yang mengatakan ia lahir tahun 427 SM. Yang pasti ialah, Plato lahir dalam suatu keluarga Aristokrat Athena yang turun-temurun memiliki peranan yang amat penting dalam kehidupan politik di Athena.
Ayahnya bernama Ariston, keturunan raja Krodus, raja terakhir Athena yang hidup sekitar abad 1068 SM dan sangat dikagumi rakyatnya dikarenakan kecakapan dan kebijaksanannya memerintah Athena. Ibunya bernama Periktione, keturunan Solon, tokoh legendaris dan negarawan agung Athena yang hidup sekitar seratus lebih awal dari Periktione.
Nama Plato yang sebenarnya ialah Aristokles. Karena dahi dan bahunya yang amat lebar, ia memperoleh julukan “Plato” tersebut dari seorang pelatih senamnya. Plato dalam bahasa Yunani berasal dari kata benda “platos” (“kelebarannya”/”lebarnya”). Julukan yang diberikan oleh pelatih senamnya itu begitu cepat populer dan menjadi panggilannya sehari-hari, bahkan kemudian menjadi nama resmi yang diabadikannya lewat seluruh karyanya.[1]
Plato adalah pengikut Socrates yang taat di antara para pengikut-pengikutnya yang mempunyai pengaruh besar. Selain dikenal sebagai ahli pikir, ia juga dikenal sebagai sastrawan yang terkenal. Tulisannya sangat banyak, sehingga keterangan tentang dirinya dapat diperoleh secara maksimal.
Sebagai titik tolak pemikiran filsafatnya, ia mencoba menyelesaikan permasalahan lama: mana yang benar antara yang berubah-ubah (Heraclitos) atau yang tetap (Parmenides). Mana yang benar antara pengetahuan lewat indra dengan pengetahuan lewat akal. Pengetahuan yang diperoleh lewat indra disebut pengetahuan indra atau pengetahuan pengalaman, dan pengetahuan tersebut bersifat tidak tetap atau berubah-ubah. Sedangkan pengetahuan lewat akal disebut pengetahuan akal dan bersifat tetap atau tidak berubah-ubah.[2]

B.       Filsafat Plato
1)        Pengertian Filsafat
Filsafat sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yaitu “Philosophia”. Kemudian dari kata ini banyak di peroleh pengertian-pengertian filsafat, baik dalam segi pengertian secara etimologi maupun secara menyeluruh dalam kandungannya.
Beberapa ahli filsafat mendefinisikan tentang filsafat:
a.       Menurut Aristoteles filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Dia juga berpendapat bahwa filsafat itu menyelidiki sebab dan asas segala benda.
b.      Menurut Cicero filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha mencapai hal tersebut.
c.       Menurut Plato filsafat ialah pengetahuan tentang segala yang ada, serta pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.[3]
2)        Sumber-sumber Filsafat Plato
Guru filsafat yang amat dikagumi, dihormati, dan dicintai plato ialah Socrates. Bagi Plato, Socrates adalah guru dan sahabat, “the noblest and the wisest and most just” (yang paling mulia dan paling bijaksana dan yang paling tulus). Ungkapan itu menunjukkan bahwa Socrates memiliki tempat yang paling khusus dalam kehidupan Plato dan hal itu nampak jelas lewat karya-karya filsafatnya. Hampir seluruh karya filsafat Plato menggunakan “metode sokratik”, yaitu metode yang dikembangkan oleh Socrates yang dikenal juga dengan nama “metode dialektis” atau yang sering kali juga disebut “elenkhus”.
Metode itu terwujud ke dalam suatu bentuk tanya jawab atau dialog sebagai suatu upaya untuk meraih kebenaran dan pengetahuan. Plato berhasil menyempurnakan metode sokratik dengan menuliskan dialog-dialognya ke dalam suatu bentuk kesastraan yang mampu mempesona begitu banyak orang dari abad ke abad. Dalam hampir semua dialog Plato, peran Socrates senantiasa ditempatkannya sebagai pelaku utama. Lewat seluruh karya filsafatnya, Plato seolah-seolah hendak mengabdikan nama gurunya yang amat dikagumi, dihormati dan dicintainya itu.
Kendati demikian, tidak berarti Plato semata-mata hanya mewarisi filsafat Socrates. Memang dari Socrates, Plato mengenal nilai-nilai kesusilaan yang menjadi norma-norma dalam diri dan kehidupan manusia, tetapi filsafat Plato tidak hanya tertuju pada persoalan manusia dan etika saja. Lewat filsafat, Plato ingin mengetahui segala sesuatu serta menetapkan hakikat dari segala sesuatu itu.
Filsafat Plato tidak hanya dipengaruhi oleh faham Socrates tetapi juga dipengaruhi oleh filusuf sebelumnya yang dikenal sebagai filusuf pra-sokratik. Sebelum Plato menjadi murid Socrates, Plato pernah belajar filsafat dari Kratylos. Kratylos adalah murid Herakleitos, si gelap (ho skoteinos), yang meraih gelar demikian itu oleh karena filsafatnya sulit difaham. Herakleitos mengajarkan bahwa segala sesuatu senantiasa bergerak dan berubah. Plato membenarkan pemikiran mereka itu hanya berlaku dalam hal yang inderwi semata-mata.
Plato pun mengenal ajaran Parmenides yang bertolak belakang dengan pemikiran Herakleitos. Bagi Parmenides yang ada itu ada dan yang tidak ada itu tidak ada. Permenides mengatakan tidak ada yang bergerak, tidak ada yang berubah, tidak ada yang mengalir dan berlalu serta meniadakan. Plato mengakui kebenaran Parmenides, namun kebenaran ajaran Parmenides itu tidak berlaku di dunia inderawi.
Plato juga mengetahui dengan baik ajaran Orphisme atau yang sering disebut sebagai Mysteri Orphik, yakni suatu geraّkan agamis dan falsafi yang tersebar di Yunani pada awal abad ke-6 SM dan yang begitu mempengaruhi serta menarik perhatian para penganut Pythagoreanisme di Italia Selatan. Orphisme mengajarkan dualisme tubuh adalah tugas manusia. Jiwa terpenjara dalam tubuh dan tugas manusia adalah membebaskan jiwa dari penjara tubuh itu. Untuk pembebasan jiwa itu hanya mungkin tercapai lewat upacara kudus.[4]
3)        Faham Idealisme
a.       Definisi Idealisme
Kata idealis dalam filsafat mempunyai arti yang sangat berbeda dari arti yang biasa dipakai dalam sehari-hari. Kata idealis itu berarti:
(1)          Seseorang yang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika dan agama serta menghayatinya.
(2)          Orang yang dapat melukiskan dan menganjurkan suatu rencana atau progam yang belum ada.

W.E. Hocking seorang idealis mengatakan bahwa kata-kata “idea-ism” lebih tepat daripada idealism. Secara ringkas faham idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa (selves), bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan mind sebagai hal yang lebih dahulu (primer) daripada materi. Sebaliknya Materialisme mengatakan bahwa materi itulah yang riil (nyata) dan akal hanyalah fenomena yang menyertainya; idealisme mengatakan bahwa akal itulah yang riil dan materi hanyalah merupakan produk sampingan.
b.      Jenis-jenis Idealisme
1)        Idealisme Subjektif- Immaterialisme
Idealisme jenis ini kadang-kadang dinamakan mentalisme atau fenomenalisme. Seorang idealis subjektif akan mengatakan bahwa akal, jiwa dan persepsi-persepsinya atau ide-idenya merupakan segala yang ada. “Objek” pengalaman bukanlah benda material; objek pengalaman adalah persepsi. Oleh karena itu benda-benda seperti bangunan dan pepohonan itu ada, akana tetapi hanya ada dalam akan mempersepsikannya.
2)        Idealisme Objektif
Plato adalah seorang filosof yang pertama kali memperkenalkan faham idealisme. Plato membagi dunia dalam dua bagian. Pertama, dunia persepsi, dunia penglihatan, suara dan benda-benda individual. Dunia yang kongkret ini adalah temporal dan rusak; bukan dunia yang sesungguhnya, melainkan sebagai bayangan alias penampakan saja. Kedua, terdapat alam diatas alam benda yaitu alam konsep, ide, universal, atau esensi yang abadi.
3)        Personalisme atau Idealisme Personal
Personalisme muncul sebagai protes terhadap materialisme mekanik, bagi seorang personalis realitas dasar itu bukanlah pemikiran yang abstrak atau protes pemikiran yang khusus, akan tetapi jiwa seseorang pemikir.[5]
c.       Idealisme Plato
Seluruh filsafat Plato bertumpu pada ajarannya tentang ide. Plato percaya bahwa ide adalah realitas yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada yang dapat dikenal lewat panca indera. Pohon, bunga, manusia, hewan, dan lain-lain sebagaimana akan mati dan berubah, tetapi ide pohon, bunga, manusia, dan hewan, tidak akan pernah berubah. Karena ide adalah realitas yang sebenarnya atau keberadaan ada yang sesungguhnya, maka bagi Plato ide bukanlah sekedar gagasan atau gambaran yang hanya berada di dalam pemikiran manusia.
Ide bukanlah sesuatu yang subjektif yang tercipta oleh daya pikir manusia dan oleh sebab itu keberadaan ide itu lalu bergantung pada daya pikir manusia. Sebagai realitas yang sebenarnya, bagi Plato, ide bersifat objektif. Keberadaan ide tidak bergantung pada daya fikir manusia. Ide itu mandiri, sempurna, abadi, dan tidak berubah-rubah.
Bagi Plato, kenyataan yang demikian itu membuktiakan bahwa dunia inderawi bukanlah realitas yang sebenarnya. Dunia inderawi itu hanyalah bayangan atau gambaran yang tidak lengkap dan tidak sempurna dari dunia ide. Contonya seperti kursi, ini beraneka ragam kursi di dunia inderawi hanyalah bayangan yang tidak lengkap dari yang sempurna yang ada di dunia ide. Kursi yang sempurna yang ada di dunia ide itu hanya satu, sedangkan kursi yang ada di dunia inderawi bermacam-macam karena sebagai bayangan atau gambaran yang tidak sempurna ia justru menggambarkan yang sempurna itu lewat aneka bentuk dan berbagai rupa.
Plato mengakui bahwa dunia inderawi yang serba majemuk dan adalah juga suatu realitas, namun bukanlah realitas yang sebenarnya. Dunia inderawi hanyalah tiruan sementara dari dunia ide. Oleh sebab itu yang paling utama bagi Plato ialah dunia ide. Tetapi itu tidak berarti dunia inderawi harus disangkal keberadaannya. Kedua dunia itu tetap merupakan realitas sendiri-sendiri, meskipun yang inderawi hanyalah merupakan tiruan dari dunia ide.
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, jelas terlihat bahwa idealisme Plato berbeda dengan idealisme modern. Dunia ide bagi Plato merupakan suatu realitas yang objektif, karena itu idealism Plato sering disebut sebagai idealism realitas, sedangkan idealisme modern bersifat subjektif oleh sebab itu sering disebut idealisme subjektif.[6]
4)        Etika
Etika atau filsafat perilaku sebagai satu cabang filsafat yang membicarakan “tindakan” manusia, dengan penekanan yang baik dan yang buruk. Terdapat dua hal permasalahan, yaitu yang menyangkut “tindakan” dan “baik-buruk”. Apabila permasalahan jatuh pada “tindakan’ maka etika disebut sebagai filsafat praktis; sedangkan jatuh pada pada ‘baik-buruk’ maka etika disebut “filsafat normatif”.[7]
Bagi Plato, tujuan hidup manusia ialah kehidupan yang senang dan bahagia. Manusia harus mengupayakan kesenangan dan kebahagiaan hidup itu. Tetapi apakah kesenangan dan kebahagiaan hidup itu? Menurut Plato, kesenangan dan kebahagiaan hidup itu bukanlah pemuasan hawa nafsu selama hidup di dunia inderawi. Plato konsekuen dengan ajaran tentang dua dunia. Karena itu, kesenangan dan kebahagiaan hidup haruslah dilihat dalam hubungan ke dua dunia itu.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, dunia yang sesungguhnya bagi plato ialah dunia ide. Semua ide dengan ide kebaikan dan ide kebajikan sebagai ide yang tertinggi yang ada di dunia ide adalah realitas sebenarnya. Sedangkan segala sesuatu yang ada di dunia inderawi hanyalah merupakan realitas bayangan.
Dengan demikian jelas terlihat bahwa etika Plato adalah etika yang didasarkan pada pengetahuan, sedangkan pengetahuan hanya mungkin diraih dan dimiliki lewat dan oleh akal budi, maka itulah sebabnya etika Plato disebut juga sebagai etika rasional.[8]
5)        Pemikiran Plato
a)        Agama
Pada bagian akhir buku kedua dan di awal buku ketiga Republic, Plato secara panjang lebar memperbincangkan tentang Tuhan. Plato tidak sependapat dengan Homeros, Hesiodos, Aeschylus, yang telah merendahkan Tuhan lewat karya-karyanya yang sedemikian rupa dengan mengungkapkan hal-hal yang buruk dan yang tidak pantas mengenai para allah.
Bagi Plato, tidak mungkin para allah itu saling menipu, kejam, kasar, saling berkhianat, senang bertengkar dan lain sebagainya. Bila memang benar demikian, maka moralitas mereka amat buruk sehingga mereka tidak pantas diagungkan. Plato juga menolak pandangan yang mengatakan bahwa Tuhan adalah penyebab kejahatan. Menurut Plato, sesuatu yang disebut allah itu pasti baik.
Dalam buku yang terakhir, yakni buku kesepuluh dari Republic, Plato menunjukkan lewat suatu ilustrasi bahwa  sesungguhnya para allah itu tidak lain adalah ide-ide yang berada di dunia ide. Plato menjelaskan pandangannya itu dengan mengatakan bahwasebenarnya ada tiga keberadaan yang berbeda-beda. Misalnya saja tempat tidur, memiliki tiga keberadaan ang berbeda-beda. Yang pertama ialah yang berada di dunia ide, yang kedua ialah “ketempattiduran” (bedhood), sedangkan yang ketiga ialah tempat tidur yang dibuat oleh tukang.
“Ketemmpattiduran” itulah yang dibuat yang dibuat oleh allah. Tempat tidur yang dibuat oleh tukang hanyalah wujud tiruan dari ‘ketempattiduran itu, sedangkan yang membuat atau menjadi penyebab “ketempattiduran” itu ada ialah ide tempat tidur yang ada di dunia ide yang menjadi realitas sebenarnya. Demikian pula dengan realitas yang lain.[9]
Plato juga mengemukakan bahwa terdapat beberapa masalah bagi manusia yang tidak pantas apabila tidak mengetahuinya. Masalah tersebut adalah sebagai berikut.
a.       Manusia itu mempunyai Tuhan sebagai penciptanya.
b.      Tuhan itu mengetahui segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia.
c.       Tuhan hanya dapat diketahui dengan cara negatif, tidak ada ayat, tidak ada anak dan lain-lain.
d.      Tuhanlah yang menjadikan alam ini dari tidak mempunyai peraturan menjadi mempunyai peraturan.[10]
b)        Negara
v  Pengertian dan Hakikat Negara
Definisi tentang negara berjumlah hampir sebanyak para pemikirnya, sesuai pengertian dan pemahamannya yang tentu saja tidak terlepas dari situasi dan kondisi serta kenyataan yang hidup disekitarnya dalam konteks sejarah dan budayanya masing-masing.
Kata negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni state (bahasa inggris), staat (bahasa belanda dan jerman) dan etat (bahasa prancis). Kata state, staat dan etat itu diambil dari kata bahasa latin status atau statum, yang berarti keadaan yang dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.
Kata statum atau status lazim diartikan sebagai standing atau station (kedudukan). Istilah ini dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup manusia, yang sama juga dengan istilah status civitatis atau status republicae. Dari pengertian yang terakhir inilah kata status pada abad ke-16 dikaitkan dengan kata negara.
Secara terminologis, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu daerah tertrntu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstruktif  dari sebuah negara yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah negara, yakni adanya masyarakat, adanya wilayah dan adanya pemerintah yang berdaulat.
Menurut Roger H. Soltau, negara didefinisikan dengan alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat.
Berbeda lagi dengan pendapat Harol J. Laski, menurutnya negara merupakan suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung dari pada induvidu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu.
Sejalan dengan Harold, Max Weber pun mendefinisikan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah   dalam suatu wilayah.
Dari beberapa pendapat tentang negara ter sebut, dapat dipahami secara sederhana bahwa yang dimaksud dengan negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warganegaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolitis dari kekuasaan yang sah.[11]
v  Asal Mula Negara
Sejak awal pertama kerajaan terbentuk di dunia ini dan raja bertahta di singgasananya, manusia zaman dulu percaya bahwa negara itu diciptakan oleh para dewa-dewi tertentu untuk melindungi, mengatur, memerintah dan menguasainya. Pada zaman Socrates dan Plato, doktrin teokratis tentang asal mula negara yang demikian itu telah memudar popularitasnya karena munculnya ajaran kaum Sofis. Protagoras, kaum terkemuka kaum Sofis, mengatakan bahwa negara itu diciptakan oleh manusia itu sendiri.
Pada mulanya manusia hidup sendiri-sendiri, namun ternyata hidup sendiri-sendiri itu mengundang terlalu banyak gangguan dan kesulitan, terutama gangguan kesulitan yang berasal dari luar dirinya sendiri, misalnya gangguan binatang buas, bencana alam dan lain-lain. Menyadari kesulitan yang dihadapinya, maka manusia mulai hidup berkelompok dan kemudian membentuk negara.
Analisa sederhana yang dikemukakan Plato dalam konstruksi negara idealnya, merupakan peletakkan dasar yang sangat kokoh bagi filsafat politiknya. Dengan mengatakan bahwa negara dibentuk oleh manusia yang memiliki begitu banyak keinginan dan kebutuhan yang hanya daat dipenuhi apabila manusia bersatu dan bekerjasama untuk dapat saling menutupi keterbatasannya agar bisa saling menutupi kekurangannya masing-masing.
Maka, bagi Plato, negara haruslah dilihat sebagai suatu sistem pelayanan yang mengharuskan setiap warga negara secara bertanggung jawab saling mengisi, saling memberi dan menerima, saling memperhatikan kebutuhan sesama warga dan saling membangun.
v  Tujuan, Tugas, dan Fungsi Negara
Bilamana Plato mengatakan bahwa asal mula negara itu terletak dalam keinginan dan kebutuhan manusia, maka itu berarti bahwa negara dibentuk oleh dan untuk manusia. sesuai dengan ajaran etik yang dikembangkannya, bagi Plato tujuan negara sinkron dengan tujuan manusia yaitu: kesenangan dan kebahagiaan warganya. Jika itu adalah tujuan suatu negara berarti tugas negara adalah mengupayakan kesenangan dan kebahagiaan itu, dan dengan demikian fungsi negara yang paling menonjol ialah fungsi kesejahteraan.
Bagi Plato, kesenangan dan kebahagiaan hidup itu tidak dapat direnggut lewat pemuasan hawa nafsu selama hidup di dunia inderawi, karena apa yang ada di dunia inderawi ini hanyalah realitas bayangan dari apa yang sesungguhnya berada di dunia ide. Maka, apabila seseorang terpesona dan terpaku oleh realitas bayangan lalu mengejar-ngejar realitas bayangan itu, maka ia akan tersesat ke alam ketidaktahuan yang penuh dengan penyesalan dan kekecewaan.[12]
v  Bentuk-bentuk Negara
Plato mengemukakan lima bentuk negara yang sesuai dengan kondisi jiwa manusia, karena bagi Plato, negara dan manusia memiliki persamaan, maka senantiasa ada kesesuaian antara manusia dan negara, baik dalam sifat maupun kondisi dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk negara anatara lain: aristokrasi, timokrasi, oligarki, demokrasi, dan tirani. Dari lima bentuk negara yang dikemukakan Plato, yang berada di urutan pertama dan merupakan bentuk negara yang terbaik ialah aristokrasi.
Pemerintahan negara aristokratik berada di tangan para cendekiawan  yang dikatakan Plato sebagai orang-orang terbaik, yang penuh dengan kebajikan dan kebaikan serta keadilan. Para cendikiawan itu memerintah dengan bijaksana, senantiasa berorientasi pada kepentingan bersama agar keadilan, kebajikan, dan kebaikan dapat dinikmati secara merata oleh seluruh warga negara.
v  Negara Menurut Plato
Sebagai puncak pemikiran filsafat Plato adalah pemikirannya tentang negara, yang tertera dalam Polites dan Nomoi. Pemikirannya tentang negara ini sebagai upaya Plato untuk memperbaiki keadaan negara yang dirasakan buruk. Konsepnya tentang negara di dalamnya terkait etika dan teorinya tentang negara. Konsepnya tentang etika sama seperti Scorates, yaitu bahwa tujuan hidup manusia adalah hidup yang baik (eudaimonia atau well-being).
Akan tetapi untuk hidup yang baik, tidak mungkin dilakukan tanpa di dalam polis (negara). Alasannya, karena manusia menurut kodratnya merupakan makhluk sosial dan kodratnya di dalam polis (negara). Maka, untuk hidup yang baik, dituntut adanya negara yang baik. Sebaliknya, negara yang jelek atau buruk tidak mungkkin menjadikan warga negaranya hidup dengan baik.
Menurut Plato, di dalam negara yang ideal terdapat tiga golongan berikut;
a.       Golongan yang tertiggi, terdiri dari orang-orang yang memerintah (para penjaga, para filusuf).
b.      Golongan pembantu, terdiri dari para prajurit, yang berfungsi untuk menjaga keamanan negara dan menjaga ketaatan para warganya.
c.       Golongan rakyat biasa, terdiri dari petani, pedagang, tukang, yang bertugas untuk memikul ekonomi negara.[13]
6.      Tiga Gelombang Pemikiran Plato
Pemikiran yang dikembangkan Plato dalam upayanya membangun suatu negara ideal yang bebas dari segala kebobrokan, kekacauan, dan kebejatan pada umumnya bukanlah pemikiran yang sama sekali baru. Segala pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya baik di Athena maupun di tempat-tempat perantauannya, setelah diolah dan dirangkai sedemikian rupa, secara menakjubkan dapat menghasilkan suatu ulasan, teori, pandangan, dan pendapat yang diserai argumen yang sukar dibantah.[14]
Plato sendiri menyadari ada buah fikirannya yang mudah dicerna, yang kebenaran dan kegunaannya terlihat dengan jelas, sehingga tidak begitu sulit bagi orang lain untuk menyambut dan menerimanya dengan baik. Tetapi ada juga buah fikirannya yang agak sukar dicerna serta memerlukan waktu yang cukup dan memusatkan fikiran yang khusus untuk dapat memahaminya dengan baik.
Dari seluruh buah fikiran yang dipersembahkan Plato bagi pembangunan negara ideal, ada tiga pokok fikiran yang merupakan gelombang yang saling susul-menyusul.
a.      Gelombang Pertama (The Frist Wave)
Gelombang pertama menurut Plato ialah bahwa pria dan wanita, oleh sebab itu harus memperoleh kesempatan yang sama, terutama pada pendidikan dan pekerjaan. Pemikiran Plato yang demikian itu bertolak belakang dengan kenyataan yang ada pada masa itu sebagai warisan tradisi dan kebiasaan yang mengharus wanita dibedakan dari pria. Itulah sebabnya di dalam negara ideal, wanita tidak boleh dibedakan dari pria.
Namun perlu diketahui bahwa kendati Plato “memperjuangkan” kesamaan wanit dan pria sebagaimana yang diperjuangkan oleh gerakan emansipasi kaum wanita yang muncul sejak abad ke sembilan belas, tetapi motivasinya jelas berbeda. Plato melihat tenaga kerja kaum wanita selama ini dimanfaatkan dengan baik dan disia-siakan begitu saja, sedangkan di pihak lain, pria harus bekerja membanting tulang bagi keluarga dan negara.
Kendati pemikiran Plato mengenai kesamaan wanita dan pria merupakan satu gelombang yang menggoncangkan orang-orang semasanya, namun ia mengatakan bahwa gelombang yang pertama ini tidaklah sebesar gellombang berikutnya.
b.      Gelombang Kedua (The Second Wave)
Apa yang disebut gelombang kedua oleh Plato ialah gagasanya untuk menghapuskan perkawinan dan keluarga demi membentuk satu keluarga besar, yakni negara sehingga semua orang “bersaudara di dalam negara”. Plato mengatakan bahwa alangkah baiknya apabila seorang pria tidak memiliki seorang istri, sehingga semua wanita adalah untuk semua pria dan semua pria adalah untuk semua wanita.
Memang gagasan untuk menghapuskan lembaga perkawinan dankeluarga, ternyata bukan hanya menggoncangkan orang-orang semasanya, tetapi juga sampai sekarang ini masih tetap menggemparkan. Bagi manusia modern yang beradab, gagasan Plato itu bukan saja merendahkan martabat manusia, melainkan juga suatu pemerkosaan terhadap hak-hak asasi manusia.[15]
Memang gagasan Plato untuk menghasukan lembaga perkawinan dan keluarga demi membentuk negara sebagai satu keluarga besar memiliki maksud-maksud tertentu sebagai jawaban atas situasi dan kondisi negara yang amat buruk pada masa itu. Adapun maksud dan tujuannya adalah:
1)        Untuk menciptakan suatu negara sebagai suatu keluarga, maka dengan demikian keutuhan dan kesatuan negara akan terjamin dan terpelihara berdasarkan ikatan kasih persaudaraan yang merupakan suatu ikatan yang amat kokoh.
2)        Untuk meningkatkan loyalitas dan dedikasi kepada negara. Apabila perkawinan dan keluarga dihapuskan makan tidak seorang pun lagi yang akan direpotkan dengan segala tetek-bengek urusan keluarga.
3)        Untuk mengendalikan jumlah penduduk. Plato mengatakan bahwa negara ideal itu tidak boleh terlalu besar, tetapi juga tidak boleh terlalu kecil.
c.       Gelombang Ketiga (The Third Wave)
Gelombang ketiga menurut Plato ialah gagasan mengenai filsuf-raja. Plato mengatakan bahwa raja di negara ideal adalah para filsuf. Hanya saja, apabila para filsuf yang menjadi penguasa, yaitu jika kekuasaan politik dan kecerdasan serta pengetahuan yang tinggi menyatu di tangan para cendekiawan, barulah negara akan dapat dipimpin dengan hikmat dan kearifan sejati (true wisdom).
7.      Karya-karya Plato
Lewat hasil karya tulisannya yang cukup banyak dan sebagian besar ditulis dalam bentuk dialog dengan gaya bahasa yang sangat indah dan menawan hati. Plato bukan hanya terkenal sebagai seorang filusuf yang agung melainkan juga sebagai sastrawan yang mengagumkan. Semua karya tulis Plato yang diwariskan kepada kita masih cukup lengkap dan dalam kondisi yang baik.
Ada sebuah daftar karya tulis Plato yang disusun oleh Thrasyllos (meninggal 36 M.). dalam daftarnya itu, Thrasyllos membagi semua karya tulis Plato ke dalam sembilan kelompok dan setiap kelompok terdiri dari empat karya tulis (tetralogies). Itu berarti menurut Thrasyllos semua karya tulis Plato berjumlah 36 buah. Namun menurut para sarjana modern, karya berikut bukanlah hasil karya tulis Plato, diantaranya yaitu:
o   Alkibiades II
o   Minos
o   Theages
o   Erastae atau Amatores
o   Axiokhus
o   Eryxias
o   Hipparkhos
Dan ada pula yang masih diragukan otentisitasnya, yaitu:
o   Alkibiades I
o   Epinomis
o   Kleitopon
o   Hippias Maior, dan
o   Hippias Minor
Berbagai upaya telah dilakukan oleh para sarjana, khususnya sejak Schleiermacher (1768-1834), menyusun secara kronologis semua hasil karya tulis Plato, namun hingga kini hasilnya kurang memuaskan dan pada umumnya belum dapat diterima oleh semua ahli. Pada tahun 1578 terbitlah satu karya edisi Plato di Paris yang disunting dan diterbitkan oleh H. Stephanus yang kemudian menjadi referensi bagi  para sarjana modern bila mengutip tulisan-tulisan Plato.

PENUTUP

1)        Terjadi perbedaan di kalangan para filsuf tentang tempat dan tahun kelahiran Plato yang sesungguhnya, akan tetapi dari sekian banyak buku filsafat yang diterbitkan diperoleh data bahwa Plato lahir di Athena pada tahun 427-347 SM, dan yang pasti ialah, Plato lahir dalam suatu keluarga Aristokrat Athena yang turun-temurun memiliki peranan yang amat penting dalam kehidupan politik di Athena.
2)        Banyak sekali definisi-definisi yang dikemukakan tentang filsafat, akan tetapi Plato mempunyai definisi tersendiri mengenai filsafat yaitu pengetahuan tentang segala yang ada, serta pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
3)        Dalam hampir semua dialog Plato, peran Socrates senantiasa ditempatkannya sebagai pelaku utama. Lewat seluruh karya filsafatnya, Plato seolah-seolah hendak mengabdikan nama gurunya yang amat dikagumi, dihormati dan dicintainya itu.
4)        Filsafat Plato tidak hanya dipengaruhi oleh faham Socrates tetapi juga dipengaruhi oleh filusuf sebelumnya yang dikenal sebagai filusuf pra-sokratik seperti Kratylos, Herakleitos, Parmenides, dan ajaran Orphisme.
5)        Secara ringkas faham idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa (selves), bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan mind sebagai hal yang lebih dahulu (primer) daripada materi.
6)        Jenis-jenis Idealisme ada tiga:
a.         Idealisme Subjektif- Immaterialisme
b.         Idealisme Objektif
c.         Personalisme atau Idealisme Personal
7)        Plato mengatakan bahwa ide adalah realitas yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada yang dapat dikenal lewat panca indera. Bagi Plato, dunia inderawi bukanlah realitas yang sebenarnya. Dunia inderawi itu hanyalah bayangan atau gambaran yang tidak lengkap dan tidak sempurna dari dunia ide.
8)        Etika Plato adalah etika yang didasarkan pada pengetahuan, sedangkan pengetahuan hanya mungkin diraih dan dimiliki lewat dan oleh akal budi, maka itulah sebabnya etika Plato disebut juga sebagai etika rasional.
9)        Sebenarnya pemikiran-pemikiran Plato dalam mencari sebuah kebenaran sangatlah banyak, akan tetapi yang menonjol dari pemikirannya adalah masalah agama dan negara ideal yang selalu diimpi-impikan oleh Plato.
10)    Latar belakang pemikiran Plato tentang agama adalah tidak sependapatnya dengan pemikiran Homeros, Hesiodos, dan Aeschylus, yang telah merendahkan Tuhan lewat karya-karyanya yang sedemikian rupa dengan mengungkapkan hal-hal yang buruk dan yang tidak pantas mengenai para allah.
11)    Sedangkan latar belakang pemikiran Plato tentang negara adalah untuk memperbaiki keadaan negara yang dirasakan buruk karena berada di bawah pemerintahan demokratis sehingga merangsang Plato untuk menciptakan negara yang ideal.
12)    Manusia zaman dulu percaya bahwa negara itu diciptakan oleh para dewa-dewi tertentu untuk melindungi, mengatur, memerintah dan menguasainya. Akan tetapi pada zaman Socrates dan Plato, doktrin teokratis tentang asal mula negara telah memudar popularitasnya karena munculnya ajaran kaum Sofis. Protagoras, kaum terkemuka kaum Sofis, mengatakan bahwa negara itu diciptakan oleh manusia itu sendiri.
13)    Bagi Plato, negara adalah suatu sistem pelayanan yang mengharuskan setiap warga negara secara bertanggung jawab saling mengisi, saling memberi dan menerima, saling memperhatikan kebutuhan sesama warga dan saling membangun.
14)    Menurut Plato tujuan negara sinkron dengan tujuan manusia yaitu: kesenangan dan kebahagiaan warganya. Jika itu adalah tujuan suatu negara berarti tugas negara adalah mengupayakan kesenangan dan kebahagiaan itu, dan dengan demikian fungsi negara yang paling menonjol ialah fungsi kesejahteraan.
15)    Bentuk-bentuk negara anatara lain: aristokrasi, timokrasi, oligarki, demokrasi, dan tirani. Dari lima bentuk negara yang dikemukakan Plato, yang berada di urutan pertama dan merupakan bentuk negara yang terbaik ialah aristokrasi.
16)    Pemerintahan negara aristokratik yaitu pemerintahan berada di tangan para cendekiawan  yang dikatakan Plato sebagai orang-orang terbaik, yang penuh dengan kebajikan dan kebaikan serta keadilan.
17)    Ada tiga pokok fikiran yang merupakan gelombang yang saling susul-menyusul.
1.         Gelombang Pertama (The Frist Wave)
2.         Gelombang Kedua (The Second Wave)
3.         Gelombang Ketiga (The Third Wave)
18)    Sebuah daftar karya tulis Plato yang disusun oleh Thrasyllos (meninggal 36 M.). dalam daftarnya itu, Thrasyllos membagi semua karya tulis Plato ke dalam sembilan kelompok dan setiap kelompok terdiri dari empat karya tulis (tetralogies). Itu berarti menurut Thrasyllos semua karya tulis Plato berjumlah 36 buah. Diantaranya adalah Alkibiades II, Minos, Theages, Erastae atau Amatores, Axiokhus, Eryxias, Hipparkhos, Alkibiades I, Epinomis, Kleitopon, Hippias Maior, Hippias Minor, dan yang paling terkenal adalah Republic






DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: Rajawali Pers, 2001.
Azra, Azyumardi, Demokrasi, Hak asasi manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000.
Hendrik, Rapar, Jan, Filsafat Politik Plato, Jakarta: CV. Rajawali, 1991.
S. Pradja, Juhaya, Aliran-aliran Filsafat Dari Rasionalisme Hingga Sekularisme, Bandung: CV Alva Gracia, 1987.
Yakub, Hamzah, Filsafat Ketuhanan, Bandung: PT. Al Ma’arif, 1984.


[1] Jan Hendrik Rapar, Filsafat Politik Plato, (Jakarta: CV. Rajawali, 1991), cet. II, 41-42.
[2] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum,  (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), 52-53.
[3]Hamzah Yakub, Filsafat Ketuhanan (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1984),11-12.
[4] Jan Hendrik Rapar, Filsafat Politik Plato, 47-49.
[5] Juhaya S. Pradja, Aliran-aliran Filsafat Dari Rasionalisme Hingga Sekularisme, (Bandung: CV Alva Gracia, 1987), 36-38.
[6] Jan Hendrik Rapar, Filsafat Politik Plato, 51-53.
[7] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum,  16.
[8] Jan Hendrik Rapar, Filsafat Politik Plato, 53-55.
[9] Jan Hendrik Rapar, Filsafat Politik Plato, 121-124.
[10] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum,  53.
[11] Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak asasi manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), cet.1, 41-42.
[12] Jan Hendrik Rapar, Filsafat Politik Plato, 60-63.
[13] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum,  52-53.
[14] Jan Hendrik Rapar, Filsafat Politik Plato, 133.
[15] Jan Hendrik Rapar, Filsafat Politik Plato, 134-138.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar