Selasa, 08 Mei 2012

UPACARA BATAJAK RUMAH DALAM KEPERCAYAAN MASYARAKAT BANJAR


PENDAHULUAN
Rumah sangat identik dengan konsep suatu tempat beristirahat dan tempat berlindung seseorang dari sesuatu yang membahayakan dan tidak diinginkan. Pengertian tentang rumah sangatlah banyak, sebanyak orang yang berusaha memahami menggunakan akal pikirannya. Jika kita ingin meneliti jenis-jenis rumah di Indonesia sanagtlah banyak, dari beberapa rumah tersebut tentu memiliki ciri khusus yang membedakan dengan rumah-rumah lainnya.
Pada zaman dulu khususnya bagi masyarakat Banjar, bentuk rumah menunjukan status sosial penghuninya. Rumah para raja dan bangsawan jelaslah berbeda dikarenakan status sosial yang berbeda pula. Dalam pembangunan rumah tersebut pastilah ada unsur-unsur mistik atau hal gaib, karena sebagaimana kita ketahui bersama, masyarakat Banjar adalah masyarakat yang bersifat animisme dan dinamisme. Akan tetapi dalam sejalan dengan berkembanya agama Islam maka sebagian besar ritual-ritual tersebut diislamisasikan.
Kita sebagai orang Banjar haruslah mengetahui dan mengerti budaya kita dalam berbagai hal, khususnya Tradisi Batajak Rumah (mendirikan rumah) sehingga kita bisa sama-sama melestarikan budaya yang sudah diwariskan oleh nenek moyang kita dulu. Oleh karena itu marilah kita sama-sama menyimak sebuah paparan tentang bagaimana tradisi mendirikan rumah dan hal-hal yang berkaitan permasalahan tersebut.







PEMBAHASAN
A.    Pengertian Rumah
Dalam arti umum, rumah adalah bangunan yang dijadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu. Rumah bisa menjadi tempat tinggal manusia maupun hewan, namun tempat tinggal yang khusus bagi hewan biasa disebut sangkar, sarang, atau kandang. Dalam arti khusus, rumah mengacu pada konsep-konsep sosial-kemasyarakatan yang terjalin di dalam bangunan tempat tinggal, seperti keluarga, tempat bertumbuh, makan, tidur, beraktivitas, dan lain-lain.
Sebagai bangunan, rumah berbentuk ruangan yang dibatasi oleh dinding dan atap, biasanya memiliki jalan masuk berupa pintu, bisa berjendela ataupun tidak. Lantainya bisa berupa tanah, ubin, babut, keramik, atau bahan lainnya. Rumah modern biasanya lengkap memiliki unsur-unsur ini, dan ruangan di dalamnya terbagi-bagi menjadi beberapa kamar yang berfungsi spesifik, seperti kamar tidur, kamar mandi, WC, ruang makan, ruang keluarga, ruang tamu, garasi, gudang, teras, dan pekarangan.
Dalam kegiatan sehari-hari, orang biasanya berada di luar rumah untuk bekerja bersekolah, atau melakukan aktivitas lain, tetapi paling sedikit rumah berfungsi sebagai tempat untuk tidur bagi keluarga ataupun perorangan. Selebihnya, rumah juga digunakan sebagai tempat beraktivitas antara anggota keluarga atau teman, baik di dalam maupun di luar rumah pekarangan.
Rumah dapat berfungsi sebagai: tempat untuk menikmati kehidupan yang nyaman, tmpat untuk beristirahat, tempat berkumpulnya keluarga, dan tempat untuk menunjukkan tingkat sosial dalam masyarakat.[1]
B.     Pola Pemukiman Masyarakat Banjar
Pada zaman dahulu, perkampungan penduduk orang-orang Banjar seperti di Hulu Sungai berwujud sebagai komplek pemukiman bubuhan yang sebagian besar terletak  tidak jauh dari sungai, sebagai sarana perhubungan yang paling penting pada saat itu. Di samping itu ada juga komplek pemukiman bubuhan yang tersebar ditengah tanah pertanian mereka, namun biasanya tidak jauh dari sumber air. Di Banjarmasin terdapat pula rumah penduduk yang di bangun diatas rakit dari batang kayu, di samping rumah-rumah penduduk yang dibangun diatas lumpur.
Dulu pemukiman penduduk tersebar di pinggiran sungai-sungai, hal ini dikarekan sungai adalah sarana yang paling vital dalam perekonomian penduduk saat itu. Akan tetapi sejak Indonesia merdeka pola pemukiman ini menyebar dengan ditandai dengan pembuatan jalan-jalan setapak oleh pemerintah yang menghubungkan antara suatu desa dengan desa lainnya. Dan sekarang, dengan berkembangnya zaman maka pola pemukiman pun berubah. Pembangunan rumah yang dulu terletak hanya di sepanjang sungai dan jalan setapak sekarang melebar hingga jalan-jalan besar. Ini dikarenakan oleh faktor pertumbuhan penduduk yang sangat padat.[2]
C.     Membangun Rumah
Dalam rangka membangun rumah dalam tradisi Banjar, terlihat adanya 4 aspek pokok yang berhubungan erat dengan sistem kepercayaan yang dianut masyarakat Banjar, yaitu: (1) berkenaan dengan bidang tanah yang akan dijadikan lokasi rumah yang akan dibangun, (2) berkenaan dengan ukuran dan bentuk rumah yang akan dibangun, (3) berkenaan dengan waktu untuk memulai kegiatan membangun, dan (4) berkenaan dengan proses membangun rumah, dan berbagai kegiatan selamatan yang berhubungan dengannya. Uraian dalam pasal ini akan berkisar pada keempat aspek pokok di atas, ditambah dengan (5) kegiatan selamatan berkenaan dengan memulai mendiami rumah baru tersebut.
1.        Tapak Rumah Baru
Tanah bekas perumahan lama, dapat langsung dibangun rumah baru di atasnya, asalkan tanah itu terletak dalam komplek pemukiman penduduk atau tidak terlalu lama ditinggalkan. Jika tanah tempat rumah akan dibangun merupakan tanah yang sama sekali belum pernah dibangun rumah di atasnya atau dahulu pernah dibangun rumah tetapi sudah lama kosong dan terletak jauh dari pemukiman penduduk, maka perlu dilakukan tindakan-tindakan sebelumnya agar rumah yang akan dibangun dan penghuninya tidak diganggu oleh makhluk-makhluk halus.
Pertama, diusahakan untuk memastikan apakah lokasi rumah itu termasuk jalan atau tempat tinggal oraang gaib atau tidak. Untuk itu harus ada yang meminta bantuan kepada seorang tokoh ulama tertentu untuk “memeriksa” tanah itu dan memberi tahukan apakah tanah itu lokasi tempat tinggal atau jalan orang gaib atau tidak. Cara lain ialah membentangkan benang di sekeliling lokasi menjelang senja dan membiarkannya selama semalam. Jika pagi harinya ternyata benang itu putus, dapatlah dipastikan tanah itu merupakan jalan atau tempat tinggal orang gaib.[3]
Cara pertama dilakukan oleh penduduk Dalam Pagar dan kampung-kampung yang berdekatan, dan ulama yang bisa dimintai bantuannya pun ada pula di Dalam Pagar. Cara kedua dilakukan oleh penduduk Anduhum dan Rangas Dalam dan mungkin pula penduduk kampung yang berdekatan. Mereka melakukannya sendiri, atau meminta bantuan warga lain yang bisa melaksanakannya.
Jika ternyata tanah tersebut bukan lokasi tempat tinggal atau jalan orang gaib, maka di atas tanah itu dapat langsung didirikan rumah. Tetapi bila tanah itu ternyata telah ditempati atau merupakan jalan orang gaib, menurut kepercayaan di Rangas Dalam atau Anduhum dianjurkan mencari tanah lain, sedang kan menurut kepercayaan Dalam Pagar kesan seperti itu tidak tampak, namun hal itu mungkin disebabkan karena tanah untuk perumahan sudah mulai sukar diperoleh di kampung itu.
Konon bila terpaksa harus menggunakan tanah tersebut, maka diharuskan meminta “syarat-syarat” kepada seorang ulama. Ada yang mempercayai bahwa orang alim yang diminta bantuannya itu sanggup memindahkan “rumah” atau “jalan” orang gaib itu ketempat lain, yaitu dengan mengadakan selamatan berupa sesaji-sesaji tertentu sebagai “ongkos” pindah. Seorang tokoh ulama di Dalam Pagar mengatakan bahwa untuk kepentingan itu dilakukan sembahyang taat hajat, dengan menyediakan air (banyu taat) yang akan disiramkan ke lokasi tersebut, disamping mengadakan selamatan.
Kasus rumah yang konon “dibangun di samping jalan orang halus” memang ditemukan, seperti salah satu rumah yang ada di Dalam Pagar tahun 1977 dibangun berbatasan dengan sungai kecil yang saat itu sudah tidak ada lagi. Konon sungai itu merupakan jalan orang gaib, dan akibatnya penghuni rumah tersebut sering diganggu, yang menyebabkan mereka tidak tentram dalam rumahnya.[4]
Di Rangas Dalam terdapat sebuah rumah yang demikian pula, yaitu berdampingan dengan tempat tinggal orang gaib. Pada tahun 1980 sebatang pohong enau yang sudah mati rebah dan menimpa istri keluarga yang mendiaminya, yang kebetulan sedang membersihkan ikan disamping rumahnya. Konon rebahnya pohon enau tersebut dan menimpa korban merupakan akibat kemarahan orang gaib tersebut.
2.        Ukuran dan Bentuk Rumah
Ternyata ukuran dan bentuk rumah ada pengaruhnya terhadap penghuni rumah tersebut, tetapi tidak berhasil diungkap norma-normanya yang kongkret di kalangan masyarakat awam atau para tukang. Namun berkenaan dengan ukuran rumah yang ideal bagi suatu keluarga tertentu diperoleh penjelasan dari seorang ulama di Dalam Pagar, yang lebih mudahnya disebut dengan HMI. Tentang ukuran rumah seperti yang diajarkan oleh HMI ini tidak pernah terdengar dari ulama lain, yang juga sering memberikan syarat-syarat membuat rumah.
HMI mengajarkan bahwa ukuran panjang dan lebar rumah dilambangkan dengan nama-nama binatang tertentu; panjang rumah yangpaling ideal dilambangkan dengan naga (kana binatang naga) dan lebarnya dilambangkan degan gajah, apabila menginginkan rumah itu membawa efek yang baik bagi ketentraman dan kebahagiaan keluarga yang mendiaminya. Terdapat delapan jenis binatang yang menjadi lambang ukuran rumah, yaitu naga, asap, singa, anjing, sapi, keledai, gajah, dan gagak.
Yang tidak baik ialah apabila ukuran rumah itu dilambangkan dengan binatang asap, anjing, keledai, atau gagak. Khususnya bila ukuran panjang atau lebar rumah dilambangkan dengan anjing, konon akan selalu terjadi pertengkaran antara suami istri yang membangun rumah selama mereka mendiami rumah tersebut.[5]
3.        Memulai Kegiatan Membangun
Umumnya yang dianggap saat memulai membangun rumah (bamula batajak rumah) ialah saat menegakkan tiang penjuru yang jumlahnya selalu genap, yaitu 4, 6, 8, 10, atau lebih. Saat mendirikan tiang ini dianggap suatu kegiatan yang penting yang harus dilakukan dalam upacara dan waktunya ditentukan dengan cermat. Selain itu juga saat tukang kayu memulai bekerja waktunya harus dipilih, ini terdapat di daerah Hulu Sungai dan termasuk juga daerah Anduhum. Di Hulu Sungai saat untuk mendirikan tiang-tiang penjuru yang paling baik ialah pada subuh  hari Minggu, dan tukang memulai pekerjaan persiapan (khususnya memahat) pada hari minggu sebelumnya.[6]
Kedua hari minggu ini diusahakan agar bertepatan dalam pertengahan pertama bulan kamariah (naik bulan) dan tidak pada pertengahan kedua (turun bulan). Di Martapura, khususnya di sekitar Dalam Pagar, terdapat anggapan diantara mereka bahwa membangun rumah yang baik dalam bulan Safar, khususnya pada 10 hari terakhir bulan itu.[7]
4.        Proses Membangun Rumah: Berbagai Aspek Upacara
Dalam proses pembangunan rumah dala tradisi Banjar terdapat berbagai aspek yang harus dipersiapkan dan kemudian dikerjakan, baik bersifat individual yang dikerjakan oleh orang yang ingin membangun rumah atau pun dikerjakan secara bergotong royong. Berbagai aspek tersebut antara lain:
a.      Pengumpulan Bahan
Jauh sebelum kegiatan membangun rumah dimulai, biasanya orang sudah lama mengumpulkan bahan-bahan, khususnya yang terbuat dari bahan kayu ulin seperti tiang, tongkat, papan ulin dan sirap jika akan mempergunakannya, tetapi bahan-bahan yang terbuat dari kayu yang lebih ringan sudah dikumpulkan beberapa bulan menjelang membangun rumah. Apabila bahan-bahan yang sudah terkumpul dirasakan sudah cukup barulah tukang dihubungi.
Di Dalam Pagar atau kampung-kampung yang berdekatan, selain menghubungi tukang kepala keluarga juga menghubungi seorang ulama dengan membawa sepotong pecahan kuali besi (rinjing wasi), yang jumlahnya sesuai dengan jumlah tiang dan kuantan tanah. Kemudian ulama tersebut menulisi (mewafak) pecahan kuali dan kuantan tanah tersebut, dan selanjutnya membuat perhitungan hari dan jam berapa rumah harus mulai dibangun. Selain itu dimintakan pula kepada ulama membuatkan wafaq-wafaq yang aan ditanam pada bagian atas tiang.
Di Rangas dan Anduhum wafaq-wafaq yang diminta kepada ulama tersebut pada umumnya berkenaan dengan yang terakhir ini saja, sedangkan mengenai barang-barang yang ditanam di (bawah) tengah rumah atau dibawah tiang (sebagai ganti kuantan tanah dan pecahan kuali besi) digunakan barang lain. Berkenaan dengan wafaq-wafaq yang ditulis dibagian bawah kuantan tanah, yaitu petikan dari ayat Qur’an At-Taubah ayat 51, yang artinya:
 “Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang Telah ditetapkan Allah untuk kami. dialah pelindung kami, dan Hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal."
Setelah pembuatan wafaq maka dilanjutkan dengan bapahat yang biasanya dikerjakan oleh para tukang bangunan. Bapahat sendiri ialah menyimpan dan mengolah bahan untuk kerangka rumah seperti tiang, tongkat, bujuran, sampaian, yaitu kerangka atap, susuk, (tiang pendek tempat meletakkan atau balok tempat memaku papan lantai) dan sebagainya. Pekerjaan bapahatini berupa membuat lubang pada tiang dengan pahat, meruncing tiang dan tongkat dan membentuk kerangka yang siap pasang, sebelum ditajak atau didirikan. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh tukang yang jumlahnya antara 3 sampai 5 orang tergantung dengan besar kecilnya rumah yang didirikan.
Kegiatan ini dinamai bapahat karena pekerjaan menyiapkan dan mengolah kerangka rumah yang akan dibangun ini sebagian besar alatnya pahat. Sesudah kerangka ini siap untuk dipasang, barulah upacara resmi mendirikan rumah atau batajak rumah dimulai.[8] Adakalanya juga pada hari itu diadakan selamatan kecil, dengan menghidangkan nasi ketan dan inti, kemudian membaca doa balarat. Di daerah Rangas dan Anduhum, sehari sebelum acara selamatan dibangun lantai darutat di atas tongkat-tongkat yang sudah ditanam; lantai ini akan digunakan sebagai tempat selamatan.
b.      Mamalas (memercikkan darah)
Sebelum selamatan, ayam jantan disembelih pada lobang yang telah disiapkan di bagian tengan rumah (sekitar tawing halat). Di daerah martapura, darah ayam jantan tersebut ditampung dan dicampur dengan minyak likat boboreh, akan digunakan untuk memerciki (mamalas) lobang dan ujung tiang yang tertanam di dalam tanah beberapa menit sebelum penanaman tiang.
Di daerah Rangas dan Anduhum, ayam itu dibiarkan menggelepar dan dengan sendirinya darah ayam tersebut berserakan dimana-mana, sebagian mengena pada tongkat-tongkat. Mereka menganggap tongkat-tongkat dan rumah itu sudah “terpalas” dengan sendirinya. Dan terkadang ayam jantan tersebut menggelepar ke sana ke mari dan mati di luar batas rumah.
c.         Sembahyang Taat (Shalat Hajat)
Setelah selesai Bapapahat, yaitu pada malam hari sebelum dilakukan pendirian rumah dilakukan shalat hajat dengan rangkaian sebagai berikut:
1.        Shalat magrib berjamaah
Setelah waktu untuk shalat Magrib tiba, para undangan bersama dengan imam shalat yang telah diminta sebelumnya mmelaksanakan shalat Magrib berjamaah di atas lantai kerangka rumah yang akan dibangun, yang telah dipersiapkan.

2.        Shalat hajat berjamaah
Sesudah selesai shalat Magrib berjamaah, para undangan bersama tuan rumah yang dipimpin imam melaksanakan shalat hajat bersama (berjamaah) pada tempat itu juga. Shalat hajat itu bertujuan untuk meminta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar rumah yang akan dibangun ini membawa kesejahteraan bagi pemiliknya dan pekerja yang membangun rumah tersebut  selamat atau tidak berbahaya dalam melaksanakan pembangunannya. Pada sujud terakhir sembahyang hajat, konon dibacakan doa yang khusus untuk keselamatan membangun rumah, disamping bacaan-bacaan dan doa yang lazim dibaca waktu sembahyang hajat.
3.        Pembacaan Surah Yasin
Setelah selesai shalat hajat berjamaah, dimulailah pembacaan surah Yasin bersama-sama dan biasanya ditengah ruangan diletakkan air putih yang waktu shalat hajat diletakkan di muka tempat duduk imam dengan jarak yang tidak mengganggu kegiatan imam di waktu shalat.
4.        Pembacaan Doa
Setelah selesai pembacaan surah Yasin secara bersama-sama, biasanya diakhiri dengan pembacaan doa selamat yang dipimpin oleh salah seorang ulama atau guru agama yang telah diundang secara khusus oleh tuan rumah.
5.        Shalat Isya Berjamaah
Ketika waktu shalat Isya sampai, seluruh undangan melaksanakan shalat Isya berjamaah di tempat itu juga.
6.        Selamatan dalam rangka pendirian rumah
Setelah selesai shalat Isya dimulailah acara selamatan yang berupa pembacaan doa dan penyuguhan hidangan yang telah disiapkan sebelumnya. Terkadang hidangan tersebut berasal dari ayam yang di sembelih tadi dan terkadang menyembelih tanpa ritual.[9]
d.      Manjagai Luang Tihang
Setelah selamatan selesai dimulailah acara menjagai atau menunggu luang tihang atau lubang tiang yang akan dipancangkan pada waktu subuh. Kegiatan ini biasanya dilakukan di tempat yang sama, selama semalaman dilakukan acara berjaga-jaga dengan kegiatan seadanya, yang antara lain diisi dengan bermain domino atau permainan  pengisi waktu lainnya.
Konon dahulu acara berjaga-jaga ini ada yang mengisinya dengan kesenian akan tetapi dengan berjalannya waktu dan semakin berkembangnya Islam pada waktu itu, maka kegiatan yang dianggap “kurang bermanfaat” tadi diubah secara perlahan-lahan dengan kegiatan yang bermanfaat seperti membaca burdah atau kegiatan yang bersifat keagamaan yang sejenis dengan itu sampai waktu subuh tiba.[10]
e.         Mendiriakan Tihang
Pada waktu subuh tiang rumah tersebut dipancangkan satu demi satu secara berurutan. Pada tiang yang akan dipancangkan ini sebelumnya telah dipasang atau diikatkan janur atau kakambangan pada ujungnya dengan sumbu lilin atau kain yang dioles dengan lilin wanyi atau lebah. Sumbu lilin ini diletakkan di puncak tiang yang akan dipancangkan bersama kakambangan dari daun kelapa.
Setiap tiang tersebut harus dipegang ketika akan menegakkan tiang itu oleh wanita penghuni rumah tersebut yang sekaligus juga pemiliknya nanti. Lilin atau sumbu lilin dinyalakan sebelum tiang dipancangkan, dan ketika memangcangkan tiang tersebut, wanita tadi memegang tiang yang sedang dipancangkan itu.
Ketika tiang sudah bergerak dan mulai tegak biasanya dibacakan salawat Nabi oleh seseorang yang disahut bersama oleh seluruh orang yang hadir pada upacara itu. Demikian tiang ini satu demi satu secara bergiliran dipancangkan dengan dengan acara yang sama.
Upacara terakhir pada pemancangan tiang ini ialah pemasangan tulang bubungan yaitu  balok yang membujur rumah yang terletak di puncak atap rumah tersebut. Seperti halnya pada pemancangan tiang waktu mengangkat tulang bubungan itu, juga diiringi dengan salawat Nabi dan disahut bersama-sama oleh para hadirin pada saat itu. Setelah selesai pemasangan tulang bubungan ini, upacara resmi mendirikan rumah dianggap telah selesai. Pekerjaan selanjutnya diteruskan atau dikerjakan oleh tukang kayu.[11]
f.        Pemasangan sampayan (tulang bubungan)
Ketika hari sudah beranjak agak siang, acara dilanjutkan dengan pemasangan sampayan (tulang bubungan) yang dikerjakan secara gotong royong. Pada sampayan yang terletak di atas tawing halat digantungkan bakul, mayang pinang (terurai), setandan pisang, dan dipuncaknya dipasang bendera.
Bakul harus terbuat dari bamban dan belum dipotong ujung-ujung bilah bambannya (bakul kayang). Bakul ini berisi beras kuning (diberi kunyit), kelapa (sekerat), gula merah, minyak kelapa, minyak tanah, yang semuanya serba sedikit. Bahan-bahan  tersebut konon melambangkan kemakmuran seperti halnya bahan rempah-rempah lainnya.
Mayang pinang harus yang sudah terkelupa dari seludangnya. Konon tidak semua jenis pisang dapat digunakan di sini. Pisang manurun (sejenis pisang, Jawa; kepok) umpamanya tidak digunakan, karena diasosiasikan dengan menurunnya (manurun, dari kata turun) kehidupan atau rezeki. Sebaiknya pisang yang digunakan adalah pisang layap dan pisang ini sangat dianjurkan dalam proses ini, karena diasosiasikan dengan mendaki (malayap, menjalar, dan tumbuh-tumbuhan yang menjalar selalu menuju ke atas pohon yang dihinggapinya). Bendera yang dipasang ialah bendera meraah putih; konon dahulu bendera yang dipakai adalah bendera Belanda dan belakangan bendera Jepang.

5.        Memulai Mendiami Rumah Baru
Amir Hasan Bondan (1953: 168) menyebutkan adanya selamatan ketika memulai memasang pintu, ketika memasang jendelan dan ketika mendiami. Kegiatan upacara memindahi rumah baru di Dalam Pagar dinamakan baingsat. Waktu pelaksanaannya dipilih dengan cermat, dan sering pula meminta bantuan seorang ulama untuk menetapkan waktunya yang tepat.[12]
Di saat menjelang siang hari sudah diletakkan minyak tanah, minyak kelapa, berbagai alat dan bahan berhias (antara lain sisir, cermin, bedak, celak mata), dan bermacam-macam bumbu dapur di tengah-tengah rumah tepatnya di dalam ruangan yang terletak di belakang tawing halat (di dalam rumah model lama dinamakan panampik panangah), pandaringan (tempat persediaan beras), panginangan (tempat bahan-bahan dan alat-alat makan sirih), paludahan (tempat membuang ludah bila makan sirih), minyak tanah, minyak kelapa, berbagai alat-alat dan bahan berhias (antara lain sisir, cermi, bedak, celak mata), dan bermacam-macam bumbu dapur.
Menjelang acara memulai, seorang membanntu menyalakan perapen dan membakar gaharu di sana, dan meletakkannya di samping padaringan dan keluarga batiah yang bersangkutan sdengan posisi paling depan si suami, menyusul istrinya dan kemudian anak-anaknya. Masing-masing atau stidaknya si suami memegang sebuah lilin yang menyala, melakukan prosesi dari rumah tempat tinggalnya semula menuju rumah barunya yang diiringi beramai-ramai oleh orang banyak.
Pada kegiatan memasuki rumah baru di Anduhum dan Rangas tidak ada acara berarak. Keluarga yang bersangkutan sudah ada lebih dahulu bahkan sudah berdiam di rumah itu beberapa waktu sebelumnya. Untuk sajian, sebagai gantian nasi ketan dan inti, diutamakan wadai gayam, terbuat dari tepung beras, gula merah dan santan, yang bentuknya mirip dengan bulir-bulir padi yang penuh berisi, sering diasosiasikan sebagai lambang kekayaan.
Acara seperti ini sebenrnya adalah acara selamatan memindahi rumah, khususnya rumah yang tidak dibangun sendiri seperti disewa, digadai, atau dipinjam dan berlaku pula di Dalam Pagar atau kampung-kampung lain disekitarnya. Tentang waktu pelaksanaannya bisa segera setelah siangnya selesai mengangkut barang-barang. Kadang-kadang acara selamatan ini dijadikan satu dengan acara aruh atau selamatan kematian atau acara selamatan lainnya.[13]
PENUTUP
·         Rumah adalah bangunan yang dijadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu. Rumah atau perumahan ada kaitannya dengan pola pemukiman pada suatu daerah.
·         Pola pemukiman penduduk tersebar di pinggiran sungai-sungai, hal ini dikarekan sungai adalah sarana yang paling vital dalam perekonomian penduduk saat itu. Akan tetapi dengan berkembangnya zaman maka pola pemukiman pun berubah. Pembangunan rumah yang dulu terletak hanya di sepanjang sungai dan jalan setapak sekarang melebar hingga jalan-jalan besar.
·         Dalam rangka membangun rumah dalam tradisi Banjar, ada 4 aspek pokok yang berhubungan erat dengan sistem kepercayaan yang dianut masyarakat Banjar, yaitu:
1)        Berkenaan dengan bidang tanah yang akan dijadikan lokasi rumah yang akan dibangun.
2)        Berkenaan dengan ukuran dan bentuk rumah yang akan dibangun.
3)        Berkenaan dengan waktu untuk memulai kegiatan membangun.
4)        Berkenaan dengan proses membangun rumah, dan berbagai kegiatan selamatan yang berhubungan dengannya.
5)        Kegiatan selamatan berkenaan dengan memulai mendiami rumah baru tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
Daud, Alfani, Islam dan Masyarakat Banjar, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1997.
http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah, diakses tanggal 08 April 2012.
Ideham, M. Suriansyah dkk, Urang Banjar dan Kebudayaannya, Banjarmasin, BPPD Propinsi Kalimantan Selatan, 2005.



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah, diakses tanggal 08 April 2012.
[2] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), 62-63.
[3] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, 459-460.
[4] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, 460-461.
[5]Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, 461.
[6] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, 462.
[7] Kenyataan ini sangat menarik, sebab biasanya bulan Safar dianggap bulan yang tidak baik, namun sebenarnya frekuensi pembangunan rumah dalam bulan ini relatif tidak banyak, tetapi jelas ada usaha ke arah itu.
[8] M. Suriansyah Ideham dkk, Urang Banjar dan Kebudayaannya, (Banjarmasin, BPPD Propinsi Kalimantan Selatan, 2005), 78.
[9] M. Suriansyah Ideham dkk, Urang Banjar dan Kebudayaannya, 79.
[10] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, 469.
[11] M. Suriansyah Ideham dkk, Urang Banjar dan Kebudayaannya, 80.
[12] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, 470-471.
[13] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, 472.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar