PENDAHULUAN
Rumah sangat identik dengan konsep suatu
tempat beristirahat dan tempat berlindung seseorang dari sesuatu yang membahayakan
dan tidak diinginkan. Pengertian tentang rumah sangatlah banyak, sebanyak orang
yang berusaha memahami menggunakan akal pikirannya. Jika kita ingin meneliti
jenis-jenis rumah di Indonesia sanagtlah banyak, dari beberapa rumah tersebut
tentu memiliki ciri khusus yang membedakan dengan rumah-rumah lainnya.
Pada zaman dulu khususnya bagi masyarakat
Banjar, bentuk rumah menunjukan status sosial penghuninya. Rumah para raja dan
bangsawan jelaslah berbeda dikarenakan status sosial yang berbeda pula. Dalam
pembangunan rumah tersebut pastilah ada unsur-unsur mistik atau hal gaib,
karena sebagaimana kita ketahui bersama, masyarakat Banjar adalah masyarakat
yang bersifat animisme dan dinamisme. Akan tetapi dalam sejalan dengan
berkembanya agama Islam maka sebagian besar ritual-ritual tersebut
diislamisasikan.
Kita sebagai orang Banjar haruslah mengetahui
dan mengerti budaya kita dalam berbagai hal, khususnya Tradisi Batajak Rumah
(mendirikan rumah) sehingga kita bisa sama-sama melestarikan budaya yang sudah
diwariskan oleh nenek moyang kita dulu. Oleh karena itu marilah kita sama-sama
menyimak sebuah paparan tentang bagaimana tradisi mendirikan rumah dan hal-hal
yang berkaitan permasalahan tersebut.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rumah
Dalam arti
umum, rumah adalah bangunan yang dijadikan tempat
tinggal selama jangka waktu tertentu. Rumah bisa menjadi tempat
tinggal manusia
maupun hewan,
namun tempat tinggal yang khusus bagi hewan biasa disebut sangkar, sarang, atau
kandang. Dalam arti khusus, rumah mengacu pada konsep-konsep sosial-kemasyarakatan
yang terjalin di dalam bangunan tempat tinggal, seperti keluarga,
tempat bertumbuh, makan, tidur, beraktivitas, dan lain-lain.
Sebagai
bangunan, rumah berbentuk ruangan yang dibatasi oleh dinding
dan atap,
biasanya memiliki jalan masuk berupa pintu, bisa berjendela
ataupun tidak. Lantainya bisa berupa tanah, ubin, babut, keramik,
atau bahan lainnya. Rumah modern biasanya lengkap memiliki unsur-unsur ini, dan
ruangan di dalamnya terbagi-bagi menjadi beberapa kamar yang berfungsi
spesifik, seperti kamar tidur, kamar mandi,
WC, ruang makan,
ruang keluarga, ruang tamu, garasi, gudang, teras, dan pekarangan.
Dalam kegiatan sehari-hari, orang biasanya
berada di luar rumah untuk bekerja bersekolah, atau
melakukan aktivitas lain, tetapi paling sedikit rumah berfungsi sebagai tempat
untuk tidur bagi keluarga ataupun perorangan. Selebihnya, rumah juga
digunakan sebagai tempat beraktivitas antara anggota keluarga atau teman, baik
di dalam maupun di luar rumah pekarangan.
Rumah dapat berfungsi sebagai: tempat
untuk menikmati kehidupan yang nyaman, tmpat untuk beristirahat, tempat
berkumpulnya keluarga, dan tempat untuk menunjukkan tingkat sosial
dalam masyarakat.[1]
B. Pola Pemukiman Masyarakat Banjar
Pada zaman dahulu, perkampungan penduduk
orang-orang Banjar seperti di Hulu Sungai berwujud sebagai komplek pemukiman
bubuhan yang sebagian besar terletak
tidak jauh dari sungai, sebagai sarana perhubungan yang paling penting
pada saat itu. Di samping itu ada juga komplek pemukiman bubuhan yang tersebar
ditengah tanah pertanian mereka, namun biasanya tidak jauh dari sumber air. Di
Banjarmasin terdapat pula rumah penduduk yang di bangun diatas rakit dari batang
kayu, di samping rumah-rumah penduduk yang dibangun diatas lumpur.
Dulu pemukiman penduduk tersebar di pinggiran
sungai-sungai, hal ini dikarekan sungai adalah sarana yang paling vital dalam
perekonomian penduduk saat itu. Akan tetapi sejak Indonesia merdeka pola
pemukiman ini menyebar dengan ditandai dengan pembuatan jalan-jalan setapak
oleh pemerintah yang menghubungkan antara suatu desa dengan desa lainnya. Dan
sekarang, dengan berkembangnya zaman maka pola pemukiman pun berubah.
Pembangunan rumah yang dulu terletak hanya di sepanjang sungai dan jalan
setapak sekarang melebar hingga jalan-jalan besar. Ini dikarenakan oleh faktor
pertumbuhan penduduk yang sangat padat.[2]
C. Membangun Rumah
Dalam rangka membangun rumah dalam tradisi
Banjar, terlihat adanya 4 aspek pokok yang berhubungan erat dengan sistem
kepercayaan yang dianut masyarakat Banjar, yaitu: (1) berkenaan dengan bidang
tanah yang akan dijadikan lokasi rumah yang akan dibangun, (2) berkenaan dengan
ukuran dan bentuk rumah yang akan dibangun, (3) berkenaan dengan waktu untuk
memulai kegiatan membangun, dan (4) berkenaan dengan proses membangun rumah,
dan berbagai kegiatan selamatan yang berhubungan dengannya. Uraian dalam pasal
ini akan berkisar pada keempat aspek pokok di atas, ditambah dengan (5) kegiatan
selamatan berkenaan dengan memulai mendiami rumah baru tersebut.
1.
Tapak Rumah Baru
Tanah bekas perumahan lama, dapat langsung
dibangun rumah baru di atasnya, asalkan tanah itu terletak dalam komplek
pemukiman penduduk atau tidak terlalu lama ditinggalkan. Jika tanah tempat
rumah akan dibangun merupakan tanah yang sama sekali belum pernah dibangun rumah
di atasnya atau dahulu pernah dibangun rumah tetapi sudah lama kosong dan
terletak jauh dari pemukiman penduduk, maka perlu dilakukan tindakan-tindakan
sebelumnya agar rumah yang akan dibangun dan penghuninya tidak diganggu oleh
makhluk-makhluk halus.
Pertama, diusahakan untuk memastikan apakah
lokasi rumah itu termasuk jalan atau tempat tinggal oraang gaib atau tidak.
Untuk itu harus ada yang meminta bantuan kepada seorang tokoh ulama tertentu
untuk “memeriksa” tanah itu dan memberi tahukan apakah tanah itu lokasi tempat
tinggal atau jalan orang gaib atau tidak. Cara lain ialah membentangkan benang
di sekeliling lokasi menjelang senja dan membiarkannya selama semalam. Jika
pagi harinya ternyata benang itu putus, dapatlah dipastikan tanah itu merupakan
jalan atau tempat tinggal orang gaib.[3]
Cara pertama dilakukan oleh penduduk Dalam
Pagar dan kampung-kampung yang berdekatan, dan ulama yang bisa dimintai
bantuannya pun ada pula di Dalam Pagar. Cara kedua dilakukan oleh penduduk
Anduhum dan Rangas Dalam dan mungkin pula penduduk kampung yang berdekatan.
Mereka melakukannya sendiri, atau meminta bantuan warga lain yang bisa
melaksanakannya.
Jika ternyata tanah tersebut bukan lokasi tempat
tinggal atau jalan orang gaib, maka di atas tanah itu dapat langsung didirikan
rumah. Tetapi bila tanah itu ternyata telah ditempati atau merupakan jalan
orang gaib, menurut kepercayaan di Rangas Dalam atau Anduhum dianjurkan mencari
tanah lain, sedang kan menurut kepercayaan Dalam Pagar kesan seperti itu tidak
tampak, namun hal itu mungkin disebabkan karena tanah untuk perumahan sudah
mulai sukar diperoleh di kampung itu.
Konon bila terpaksa harus menggunakan tanah
tersebut, maka diharuskan meminta “syarat-syarat” kepada seorang ulama.
Ada yang mempercayai bahwa orang alim yang diminta bantuannya itu sanggup
memindahkan “rumah” atau “jalan” orang gaib itu ketempat lain,
yaitu dengan mengadakan selamatan berupa sesaji-sesaji tertentu sebagai “ongkos”
pindah. Seorang tokoh ulama di Dalam Pagar mengatakan bahwa untuk kepentingan
itu dilakukan sembahyang taat hajat, dengan menyediakan air (banyu taat) yang
akan disiramkan ke lokasi tersebut, disamping mengadakan selamatan.
Kasus rumah yang konon “dibangun di samping
jalan orang halus” memang ditemukan, seperti salah satu rumah yang ada di Dalam
Pagar tahun 1977 dibangun berbatasan dengan sungai kecil yang saat itu sudah
tidak ada lagi. Konon sungai itu merupakan jalan orang gaib, dan akibatnya
penghuni rumah tersebut sering diganggu, yang menyebabkan mereka tidak tentram
dalam rumahnya.[4]
Di Rangas Dalam terdapat sebuah rumah yang
demikian pula, yaitu berdampingan dengan tempat tinggal orang gaib. Pada tahun
1980 sebatang pohong enau yang sudah mati rebah dan menimpa istri keluarga yang
mendiaminya, yang kebetulan sedang membersihkan ikan disamping rumahnya. Konon
rebahnya pohon enau tersebut dan menimpa korban merupakan akibat kemarahan
orang gaib tersebut.
2.
Ukuran dan Bentuk Rumah
Ternyata ukuran dan bentuk rumah ada
pengaruhnya terhadap penghuni rumah tersebut, tetapi tidak berhasil diungkap
norma-normanya yang kongkret di kalangan masyarakat awam atau para tukang.
Namun berkenaan dengan ukuran rumah yang ideal bagi suatu keluarga tertentu
diperoleh penjelasan dari seorang ulama di Dalam Pagar, yang lebih mudahnya
disebut dengan HMI. Tentang ukuran rumah seperti yang diajarkan oleh HMI ini
tidak pernah terdengar dari ulama lain, yang juga sering memberikan
syarat-syarat membuat rumah.
HMI mengajarkan bahwa ukuran panjang dan lebar
rumah dilambangkan dengan nama-nama binatang tertentu; panjang rumah yangpaling
ideal dilambangkan dengan naga (kana binatang naga) dan lebarnya
dilambangkan degan gajah, apabila menginginkan rumah itu membawa efek yang baik
bagi ketentraman dan kebahagiaan keluarga yang mendiaminya. Terdapat delapan
jenis binatang yang menjadi lambang ukuran rumah, yaitu naga, asap, singa,
anjing, sapi, keledai, gajah, dan gagak.
Yang tidak baik ialah apabila ukuran rumah itu
dilambangkan dengan binatang asap, anjing, keledai, atau gagak. Khususnya bila
ukuran panjang atau lebar rumah dilambangkan dengan anjing, konon akan selalu
terjadi pertengkaran antara suami istri yang membangun rumah selama mereka mendiami
rumah tersebut.[5]
3.
Memulai Kegiatan Membangun
Umumnya yang dianggap saat memulai membangun rumah
(bamula batajak rumah) ialah saat menegakkan tiang penjuru yang
jumlahnya selalu genap, yaitu 4, 6, 8, 10, atau lebih. Saat mendirikan tiang
ini dianggap suatu kegiatan yang penting yang harus dilakukan dalam upacara dan
waktunya ditentukan dengan cermat. Selain itu juga saat tukang kayu memulai
bekerja waktunya harus dipilih, ini terdapat di daerah Hulu Sungai dan termasuk
juga daerah Anduhum. Di Hulu Sungai saat untuk mendirikan tiang-tiang penjuru
yang paling baik ialah pada subuh hari
Minggu, dan tukang memulai pekerjaan persiapan (khususnya memahat) pada
hari minggu sebelumnya.[6]
Kedua hari minggu ini diusahakan agar
bertepatan dalam pertengahan pertama bulan kamariah (naik bulan) dan
tidak pada pertengahan kedua (turun bulan). Di Martapura, khususnya di
sekitar Dalam Pagar, terdapat anggapan diantara mereka bahwa membangun rumah
yang baik dalam bulan Safar, khususnya pada 10 hari terakhir bulan itu.[7]
4.
Proses Membangun Rumah: Berbagai Aspek Upacara
Dalam proses pembangunan rumah dala tradisi
Banjar terdapat berbagai aspek yang harus dipersiapkan dan kemudian dikerjakan,
baik bersifat individual yang dikerjakan oleh orang yang ingin membangun rumah
atau pun dikerjakan secara bergotong royong. Berbagai aspek tersebut antara
lain:
a. Pengumpulan Bahan
Jauh sebelum kegiatan membangun rumah dimulai,
biasanya orang sudah lama mengumpulkan bahan-bahan, khususnya yang terbuat dari
bahan kayu ulin seperti tiang, tongkat, papan ulin dan sirap jika akan
mempergunakannya, tetapi bahan-bahan yang terbuat dari kayu yang lebih ringan sudah
dikumpulkan beberapa bulan menjelang membangun rumah. Apabila bahan-bahan yang
sudah terkumpul dirasakan sudah cukup barulah tukang dihubungi.
Di Dalam Pagar atau kampung-kampung yang
berdekatan, selain menghubungi tukang kepala keluarga juga menghubungi seorang
ulama dengan membawa sepotong pecahan kuali besi (rinjing wasi), yang
jumlahnya sesuai dengan jumlah tiang dan kuantan tanah. Kemudian ulama tersebut
menulisi (mewafak) pecahan kuali dan kuantan tanah tersebut, dan
selanjutnya membuat perhitungan hari dan jam berapa rumah harus mulai dibangun.
Selain itu dimintakan pula kepada ulama membuatkan wafaq-wafaq yang aan ditanam
pada bagian atas tiang.
Di Rangas dan Anduhum wafaq-wafaq yang diminta
kepada ulama tersebut pada umumnya berkenaan dengan yang terakhir ini saja,
sedangkan mengenai barang-barang yang ditanam di (bawah) tengah rumah
atau dibawah tiang (sebagai ganti kuantan tanah dan pecahan kuali besi)
digunakan barang lain. Berkenaan dengan wafaq-wafaq yang ditulis dibagian bawah
kuantan tanah, yaitu petikan dari ayat Qur’an At-Taubah ayat 51, yang artinya:
“Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan
menimpa kami melainkan apa yang Telah ditetapkan Allah untuk kami. dialah
pelindung kami, dan Hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus
bertawakal."
Setelah pembuatan wafaq maka dilanjutkan
dengan bapahat yang biasanya dikerjakan oleh para tukang bangunan. Bapahat
sendiri ialah menyimpan dan mengolah bahan untuk kerangka rumah seperti tiang,
tongkat, bujuran, sampaian, yaitu kerangka atap, susuk, (tiang pendek tempat
meletakkan atau balok tempat memaku papan lantai) dan sebagainya. Pekerjaan
bapahatini berupa membuat lubang pada tiang dengan pahat, meruncing tiang dan
tongkat dan membentuk kerangka yang siap pasang, sebelum ditajak atau
didirikan. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh tukang yang jumlahnya antara 3
sampai 5 orang tergantung dengan besar kecilnya rumah yang didirikan.
Kegiatan ini dinamai bapahat karena pekerjaan
menyiapkan dan mengolah kerangka rumah yang akan dibangun ini sebagian besar
alatnya pahat. Sesudah kerangka ini siap untuk dipasang, barulah upacara resmi
mendirikan rumah atau batajak rumah dimulai.[8] Adakalanya
juga pada hari itu diadakan selamatan kecil, dengan menghidangkan nasi ketan
dan inti, kemudian membaca doa balarat. Di daerah Rangas dan Anduhum, sehari
sebelum acara selamatan dibangun lantai darutat di atas tongkat-tongkat yang
sudah ditanam; lantai ini akan digunakan sebagai tempat selamatan.
b. Mamalas (memercikkan darah)
Sebelum selamatan, ayam jantan disembelih pada
lobang yang telah disiapkan di bagian tengan rumah (sekitar tawing
halat). Di daerah martapura, darah ayam jantan tersebut ditampung dan
dicampur dengan minyak likat boboreh, akan digunakan untuk memerciki
(mamalas) lobang dan ujung tiang yang tertanam di dalam tanah beberapa
menit sebelum penanaman tiang.
Di daerah Rangas dan Anduhum, ayam itu
dibiarkan menggelepar dan dengan sendirinya darah ayam tersebut berserakan
dimana-mana, sebagian mengena pada tongkat-tongkat. Mereka menganggap
tongkat-tongkat dan rumah itu sudah “terpalas” dengan sendirinya. Dan terkadang
ayam jantan tersebut menggelepar ke sana ke mari dan mati di luar batas rumah.
c.
Sembahyang Taat (Shalat Hajat)
Setelah selesai Bapapahat, yaitu pada malam
hari sebelum dilakukan pendirian rumah dilakukan shalat hajat dengan rangkaian
sebagai berikut:
1.
Shalat magrib berjamaah
Setelah waktu untuk shalat Magrib tiba, para
undangan bersama dengan imam shalat yang telah diminta sebelumnya mmelaksanakan
shalat Magrib berjamaah di atas lantai kerangka rumah yang akan dibangun, yang
telah dipersiapkan.
2.
Shalat hajat berjamaah
Sesudah selesai shalat Magrib berjamaah, para
undangan bersama tuan rumah yang dipimpin imam melaksanakan shalat hajat
bersama (berjamaah) pada tempat itu juga. Shalat hajat itu bertujuan untuk
meminta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar rumah yang akan dibangun ini membawa
kesejahteraan bagi pemiliknya dan pekerja yang membangun rumah tersebut selamat atau tidak berbahaya dalam
melaksanakan pembangunannya. Pada sujud terakhir sembahyang hajat, konon
dibacakan doa yang khusus untuk keselamatan membangun rumah, disamping
bacaan-bacaan dan doa yang lazim dibaca waktu sembahyang hajat.
3.
Pembacaan Surah Yasin
Setelah selesai shalat hajat berjamaah,
dimulailah pembacaan surah Yasin bersama-sama dan biasanya ditengah ruangan
diletakkan air putih yang waktu shalat hajat diletakkan di muka tempat duduk
imam dengan jarak yang tidak mengganggu kegiatan imam di waktu shalat.
4.
Pembacaan Doa
Setelah selesai pembacaan surah Yasin secara
bersama-sama, biasanya diakhiri dengan pembacaan doa selamat yang dipimpin oleh
salah seorang ulama atau guru agama yang telah diundang secara khusus oleh tuan
rumah.
5.
Shalat Isya Berjamaah
Ketika waktu shalat Isya sampai, seluruh
undangan melaksanakan shalat Isya berjamaah di tempat itu juga.
6.
Selamatan dalam rangka pendirian rumah
Setelah selesai shalat Isya dimulailah acara
selamatan yang berupa pembacaan doa dan penyuguhan hidangan yang telah
disiapkan sebelumnya. Terkadang hidangan tersebut berasal dari ayam yang di
sembelih tadi dan terkadang menyembelih tanpa ritual.[9]
d. Manjagai Luang Tihang
Setelah selamatan selesai dimulailah acara
menjagai atau menunggu luang tihang atau lubang tiang yang akan dipancangkan
pada waktu subuh. Kegiatan ini biasanya dilakukan di tempat yang sama, selama
semalaman dilakukan acara berjaga-jaga dengan kegiatan seadanya, yang antara
lain diisi dengan bermain domino atau permainan
pengisi waktu lainnya.
Konon dahulu acara berjaga-jaga ini ada yang
mengisinya dengan kesenian akan tetapi dengan berjalannya waktu dan semakin
berkembangnya Islam pada waktu itu, maka kegiatan yang dianggap “kurang
bermanfaat” tadi diubah secara perlahan-lahan dengan kegiatan yang bermanfaat
seperti membaca burdah atau kegiatan yang bersifat keagamaan yang sejenis
dengan itu sampai waktu subuh tiba.[10]
e.
Mendiriakan Tihang
Pada waktu subuh tiang rumah tersebut
dipancangkan satu demi satu secara berurutan. Pada tiang yang akan dipancangkan
ini sebelumnya telah dipasang atau diikatkan janur atau kakambangan pada
ujungnya dengan sumbu lilin atau kain yang dioles dengan lilin wanyi atau
lebah. Sumbu lilin ini diletakkan di puncak tiang yang akan dipancangkan
bersama kakambangan dari daun kelapa.
Setiap tiang tersebut harus dipegang ketika
akan menegakkan tiang itu oleh wanita penghuni rumah tersebut yang sekaligus
juga pemiliknya nanti. Lilin atau sumbu lilin dinyalakan sebelum tiang
dipancangkan, dan ketika memangcangkan tiang tersebut, wanita tadi memegang
tiang yang sedang dipancangkan itu.
Ketika tiang sudah bergerak dan mulai tegak
biasanya dibacakan salawat Nabi oleh seseorang yang disahut bersama oleh
seluruh orang yang hadir pada upacara itu. Demikian tiang ini satu demi satu
secara bergiliran dipancangkan dengan dengan acara yang sama.
Upacara terakhir pada pemancangan tiang ini
ialah pemasangan tulang bubungan yaitu
balok yang membujur rumah yang terletak di puncak atap rumah tersebut.
Seperti halnya pada pemancangan tiang waktu mengangkat tulang bubungan itu, juga
diiringi dengan salawat Nabi dan disahut bersama-sama oleh para hadirin pada
saat itu. Setelah selesai pemasangan tulang bubungan ini, upacara resmi
mendirikan rumah dianggap telah selesai. Pekerjaan selanjutnya diteruskan atau
dikerjakan oleh tukang kayu.[11]
f.
Pemasangan sampayan (tulang bubungan)
Ketika hari sudah beranjak agak siang, acara
dilanjutkan dengan pemasangan sampayan (tulang bubungan) yang dikerjakan
secara gotong royong. Pada sampayan yang terletak di atas tawing halat
digantungkan bakul, mayang pinang (terurai), setandan pisang, dan dipuncaknya
dipasang bendera.
Bakul harus terbuat dari bamban dan belum
dipotong ujung-ujung bilah bambannya (bakul kayang). Bakul ini berisi
beras kuning (diberi kunyit), kelapa (sekerat), gula merah, minyak kelapa,
minyak tanah, yang semuanya serba sedikit. Bahan-bahan tersebut konon melambangkan kemakmuran
seperti halnya bahan rempah-rempah lainnya.
Mayang pinang harus yang sudah terkelupa dari
seludangnya. Konon tidak semua jenis pisang dapat digunakan di sini. Pisang
manurun (sejenis pisang, Jawa; kepok) umpamanya tidak digunakan, karena
diasosiasikan dengan menurunnya (manurun, dari kata turun) kehidupan
atau rezeki. Sebaiknya pisang yang digunakan adalah pisang layap dan
pisang ini sangat dianjurkan dalam proses ini, karena diasosiasikan dengan
mendaki (malayap, menjalar, dan tumbuh-tumbuhan yang menjalar selalu
menuju ke atas pohon yang dihinggapinya). Bendera yang dipasang ialah bendera
meraah putih; konon dahulu bendera yang dipakai adalah bendera Belanda dan
belakangan bendera Jepang.
5.
Memulai Mendiami Rumah Baru
Amir Hasan Bondan (1953: 168) menyebutkan
adanya selamatan ketika memulai memasang pintu, ketika memasang jendelan dan
ketika mendiami. Kegiatan upacara memindahi rumah baru di Dalam Pagar dinamakan
baingsat. Waktu pelaksanaannya dipilih dengan cermat, dan sering pula
meminta bantuan seorang ulama untuk menetapkan waktunya yang tepat.[12]
Di saat menjelang siang hari sudah diletakkan
minyak tanah, minyak kelapa, berbagai alat dan bahan berhias (antara lain
sisir, cermin, bedak, celak mata), dan bermacam-macam bumbu dapur di
tengah-tengah rumah tepatnya di dalam ruangan yang terletak di belakang tawing
halat (di dalam rumah model lama dinamakan panampik panangah),
pandaringan (tempat persediaan beras), panginangan
(tempat bahan-bahan dan alat-alat makan sirih), paludahan (tempat
membuang ludah bila makan sirih), minyak tanah, minyak kelapa, berbagai
alat-alat dan bahan berhias (antara lain sisir, cermi, bedak, celak mata), dan
bermacam-macam bumbu dapur.
Menjelang acara memulai, seorang membanntu
menyalakan perapen dan membakar gaharu di sana, dan meletakkannya di
samping padaringan dan keluarga batiah yang bersangkutan sdengan posisi paling
depan si suami, menyusul istrinya dan kemudian anak-anaknya. Masing-masing atau
stidaknya si suami memegang sebuah lilin yang menyala, melakukan prosesi dari
rumah tempat tinggalnya semula menuju rumah barunya yang diiringi beramai-ramai
oleh orang banyak.
Pada kegiatan memasuki rumah baru di Anduhum
dan Rangas tidak ada acara berarak. Keluarga yang bersangkutan sudah ada lebih
dahulu bahkan sudah berdiam di rumah itu beberapa waktu sebelumnya. Untuk sajian,
sebagai gantian nasi ketan dan inti, diutamakan wadai gayam, terbuat dari
tepung beras, gula merah dan santan, yang bentuknya mirip dengan bulir-bulir
padi yang penuh berisi, sering diasosiasikan sebagai lambang kekayaan.
Acara seperti ini sebenrnya adalah acara
selamatan memindahi rumah, khususnya rumah yang tidak dibangun sendiri seperti
disewa, digadai, atau dipinjam dan berlaku pula di Dalam Pagar atau
kampung-kampung lain disekitarnya. Tentang waktu pelaksanaannya bisa segera
setelah siangnya selesai mengangkut barang-barang. Kadang-kadang acara
selamatan ini dijadikan satu dengan acara aruh atau selamatan kematian atau
acara selamatan lainnya.[13]
PENUTUP
·
Rumah
adalah bangunan yang dijadikan tempat
tinggal selama jangka waktu tertentu. Rumah atau perumahan ada kaitannya dengan
pola pemukiman pada suatu daerah.
·
Pola pemukiman penduduk tersebar di pinggiran
sungai-sungai, hal ini dikarekan sungai adalah sarana yang paling vital dalam
perekonomian penduduk saat itu. Akan tetapi dengan berkembangnya zaman maka
pola pemukiman pun berubah. Pembangunan rumah yang dulu terletak hanya di
sepanjang sungai dan jalan setapak sekarang melebar hingga jalan-jalan besar.
·
Dalam rangka membangun rumah dalam tradisi
Banjar, ada 4 aspek pokok yang berhubungan erat dengan sistem kepercayaan yang
dianut masyarakat Banjar, yaitu:
1)
Berkenaan dengan bidang tanah yang akan dijadikan
lokasi rumah yang akan dibangun.
2)
Berkenaan dengan ukuran dan bentuk rumah yang
akan dibangun.
3)
Berkenaan dengan waktu untuk memulai kegiatan
membangun.
4)
Berkenaan dengan proses membangun rumah, dan
berbagai kegiatan selamatan yang berhubungan dengannya.
5)
Kegiatan selamatan berkenaan dengan memulai
mendiami rumah baru tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Daud, Alfani, Islam dan Masyarakat Banjar, Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada, 1997.
http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah, diakses tanggal 08 April 2012.
Ideham, M. Suriansyah dkk, Urang Banjar dan
Kebudayaannya, Banjarmasin, BPPD Propinsi Kalimantan Selatan, 2005.
[2]
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), 62-63.
[3]
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, 459-460.
[7] Kenyataan ini sangat menarik, sebab biasanya bulan Safar dianggap bulan
yang tidak baik, namun sebenarnya frekuensi pembangunan rumah dalam bulan ini
relatif tidak banyak, tetapi jelas ada usaha ke arah itu.
[8] M. Suriansyah Ideham dkk, Urang Banjar dan Kebudayaannya,
(Banjarmasin, BPPD Propinsi Kalimantan Selatan, 2005), 78.
[9]
M. Suriansyah Ideham dkk, Urang Banjar dan
Kebudayaannya, 79.
[12]
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, 470-471.
[13]
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, 472.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar